May Day atau Hari Buruh Internasional jatuh tepat pada hari ini,
(1/05). Memperingati hari tersebut, sejumlah elemen masyarakat
menyuarakan permasalahan buruh. Turut angkat bicara Pimpinan Lembaga
Kemahasiswaan (LK) Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW).
(May Day sendiri lahir dari serangkaian rentetan perjuangan kelas pekerja untuk meraih kendali ekonomi-politis hak-hak industrial. Perkembangan kapitalisme industri di awal abad 19 menandakan perubahan besar terhadap ekonomi-politik, terutama di negara-negara kapitalis di Eropa Barat serta Amerika Serikat. Pengetatan pada disiplin dan intensitas jam kerja, redahnya upah, serta buruknya kondisi kerja di tingkatan pabrik, melahirkan perlawanan di antara kalangan kelas pekerja).
Serangkaian permasalahan-permasalahan yang dialami oleh buruh, seperti upah rendah, minimnya kesejahteraan, ataupun beban kerja yang tinggi, disinggung oleh Dian Rema Nugroho Ketua Badan Perwakilan Mahasiswa Universitas (BPMU), saat ditemui di kantor BPMU, Jumat, (1/05).
Solusi perlu dicari, satu yang disodorkan Rema adalah perbaikan kualitas pendidikan. “Pendidikan selama ini lebih mengarahkan para peserta didik bermental buruh,” ucap laki-laki yang masih tercatat sebagai mahasiswa Fakultas Psikologi tersebut.
Ditemui terpisah, penegasan tentang perlunya perubahan mindset pendidikan di negeri ini diungkapkan oleh Kornelius Upa’ Rodo Ketua Senat Mahasiswa Universitas (SMU). Sama seperti Rema, Konelius mengajak kita untuk berfikir kembali tentang kualitas  pendidikan kita.
“Merubah yang tadinya hanya ingin sebagai pekerja menjadi lulusan yang mampu membuka lapangan pekerjaan,” tuturnya. Sulit, itu pasti. Namun Kornelius berharap negeri ini mau memulainya. “Pelan-pelan tapi pasti,” papar mahasiswa Fakultas Sains dan Matematika itu.
Peran serta pemerintah sebagai pemegang kebijakan dan pembuat anggaran tidak lepas dari amatan Kornelius. “Pemerintah patutnya memberikan fasilitas untuk membantu terciptannya lapangan pekerjaan baru. Jangan membuat kebijakan yang mempersulit hal itu tercipta”.
Keresahan kedua pimpinan LK UKSW itu tampaknya cukup beralasan. Jika pemerintah tidak mampu menyediakan pendidikan dan pelatihan kerja yang memadai, diperkirakan pada tahun 2015 separuh dari pemuda negeri ini akan terjebak sebagai buruh seumur hidup.
Demikian ungkap ahli demografi Universitas Indonesia Sri Moertiningsih Adioetomo pada peluncuran laporan "Tren Ketenagakerjaan dan Sosial di Indonesia 2008" oleh Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) di Jakarta, tahun lalu (2008).
Anak-anak kelahiran 90an yang hanya mengenyam pendidikan hingga bangku SMP diperkirakan masuk dalam usia produktif kerja pada 2015. Peluang mereka untuk mendapatkan pekerjaan yang baik semakin tipis, karena rendahnya pendidikan, skill rendah, dan tidak memiliki kompetensi kerja.
Itu berarti, kita hanya punya waktu yang tidak banyak (6 tahun) untuk berbuat sesuatu. (id.wikipedia.org/vhrmedia.com/saam fredy_bphl).
(May Day sendiri lahir dari serangkaian rentetan perjuangan kelas pekerja untuk meraih kendali ekonomi-politis hak-hak industrial. Perkembangan kapitalisme industri di awal abad 19 menandakan perubahan besar terhadap ekonomi-politik, terutama di negara-negara kapitalis di Eropa Barat serta Amerika Serikat. Pengetatan pada disiplin dan intensitas jam kerja, redahnya upah, serta buruknya kondisi kerja di tingkatan pabrik, melahirkan perlawanan di antara kalangan kelas pekerja).
Serangkaian permasalahan-permasalahan yang dialami oleh buruh, seperti upah rendah, minimnya kesejahteraan, ataupun beban kerja yang tinggi, disinggung oleh Dian Rema Nugroho Ketua Badan Perwakilan Mahasiswa Universitas (BPMU), saat ditemui di kantor BPMU, Jumat, (1/05).
Solusi perlu dicari, satu yang disodorkan Rema adalah perbaikan kualitas pendidikan. “Pendidikan selama ini lebih mengarahkan para peserta didik bermental buruh,” ucap laki-laki yang masih tercatat sebagai mahasiswa Fakultas Psikologi tersebut.
Ditemui terpisah, penegasan tentang perlunya perubahan mindset pendidikan di negeri ini diungkapkan oleh Kornelius Upa’ Rodo Ketua Senat Mahasiswa Universitas (SMU). Sama seperti Rema, Konelius mengajak kita untuk berfikir kembali tentang kualitas  pendidikan kita.
“Merubah yang tadinya hanya ingin sebagai pekerja menjadi lulusan yang mampu membuka lapangan pekerjaan,” tuturnya. Sulit, itu pasti. Namun Kornelius berharap negeri ini mau memulainya. “Pelan-pelan tapi pasti,” papar mahasiswa Fakultas Sains dan Matematika itu.
Peran serta pemerintah sebagai pemegang kebijakan dan pembuat anggaran tidak lepas dari amatan Kornelius. “Pemerintah patutnya memberikan fasilitas untuk membantu terciptannya lapangan pekerjaan baru. Jangan membuat kebijakan yang mempersulit hal itu tercipta”.
Keresahan kedua pimpinan LK UKSW itu tampaknya cukup beralasan. Jika pemerintah tidak mampu menyediakan pendidikan dan pelatihan kerja yang memadai, diperkirakan pada tahun 2015 separuh dari pemuda negeri ini akan terjebak sebagai buruh seumur hidup.
Demikian ungkap ahli demografi Universitas Indonesia Sri Moertiningsih Adioetomo pada peluncuran laporan "Tren Ketenagakerjaan dan Sosial di Indonesia 2008" oleh Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) di Jakarta, tahun lalu (2008).
Anak-anak kelahiran 90an yang hanya mengenyam pendidikan hingga bangku SMP diperkirakan masuk dalam usia produktif kerja pada 2015. Peluang mereka untuk mendapatkan pekerjaan yang baik semakin tipis, karena rendahnya pendidikan, skill rendah, dan tidak memiliki kompetensi kerja.
Itu berarti, kita hanya punya waktu yang tidak banyak (6 tahun) untuk berbuat sesuatu. (id.wikipedia.org/vhrmedia.com/saam fredy_bphl).
Komentar