Perempuan semenjak dahulu kala diartikan sebagai emas atau nyawa bagi laki-laki kaum Jawa. Bagi laki-laki jawa tidak mudah mendapatkan seorang perempuan dalam kaumnya sendiri, karena membutuhkan banyak persyaratan atau mahar yang harus dibayar. Dalam legenda maupun sejarah di tanah jawa banyak sekali sayembara ataupun turnamen yang diadakan untuk mempersunting seorang perempuan. Dalam sayembara itu selalu dari pihak perempuannyalah yang menentukan apa yang menjadi kemauannya dan dari kemauannyalah itu para laki-laki berlomba mendapatkan apa yang menjadi kemauan dari si perempuan tersebut. Tidak cuma sampai adu ilmu, kepintaran dan semacamnya, bahkan adu nyawa akan dipertaruhkan. Bagi yang berhasil memenangkan sayembara dan berhasil memboyong perempuan tersebut. Menjadi suatu kebanggaan dan suatu kepuasan tiada tara bagi pihak pemenang atau laki-lakinya.
Dari cerita diatas memang menunjukan perempuan sangat berharga di mata laki-laki, tapi banyak pula pergeseran yang terjadi tentang peran wanita di mata laki-laki jawa. Misal menjadi konco wingking alias teman dibelakang atau teman pemuas seks dan didapur, bawahan dan sebagainya. Hal inilah yang perlu disadari dan dirubah mindset tentang pikiran-pikiran yang tidak sesuai dalam adat istiadat jawa mengenai peran perempuan. Kalau dalam sejarah jawa terlebih sejarah majapahit, majapahit pernah dipimpin seorang ratu bernama Tribuwana Tunggadewi, dia adalah istri dari Raden Wijaya atau raja Majapahit pertama. Beberapa sejarah juga membuktikan peran perempuan lebih besar kuasanya daripada laki-laki, apalagi dalam adat Jawa. Beberapa kerajaan di masa lalu dipimpin oleh perempuan dan kebanyakan pula perempuan menjadi penasehat bagi suaminya, terlebih jaman kerajaan dahulu kala yang menjadikan permaisuri menjadi penasehat bagi Suaminya yang menjadi raja atau prabu dan sebagainya.
Jadi perempuan sangat berarti karena ada pepatah surga ada di telapak kaki ibu dan apalagi dalam beberapa golongan orang jawa mengartikan perempuan ialah bondone bojone atau artinya miliknya suaminya yang berarti pula perempuan menjadi nilai-nilai dan harga diri bagi suami dan keluarganya. Bahkan dibela sampai patining urip (sampai matinya hidup).
Bagi saya sebagai laki-laki dari kaum Jawa, saya dibesarkan untuk menghargai perempuan. Karena bila saya berlaku jahat kepada mereka berarti sama saja saya melecehkan martabat ibu saya. Karena itu kebanyakan keluarga besar di Jawa masih menggunakan paham kalau kita menghina perempuan dan melecehkan dia sama saja kita menghina ibu yang telah melahirkan kita dan ada pepatah mending mati saja daripada mengganggu perempuan. Tapi kebanyakan pula perempuan diperlakukan sebagai golongan nomor dua, golongan pembantu,dan golongan yang hanya doyan omong. Tapi sekali lagi cermin masa lalu jarang terpakai dalam perkembangan jaman sekarang. Memang sekarang perempuan tetap diakui persamaannya, tapi realitanya dalam keluarga jawa sendiri masih terdapat pemukulan terhadap perempuan. Laki-laki jawa sudah mulai luntur rasa menghargai perempuannya sebagai emas yang harus dijaga dengan taruhan nyawa. Kaum Jawa yang terkenal karena kelemah lembutannya sekarang luntur dengan terjadinya kasus-kasus lelaki Jawa yang menyiksa istri dan anak-anaknya. Sebaiknya jangan pernah lupakan budaya dan sejarah yang telah membentuk label karakter orang Jawa. Mari dijaga, jangan malu karena kita Jawa, hargai perempuan kita cintai mereka dan jadikan mereka sebagai nyawa yang harus dijaga dan dibelo pati kalau perlu.
Dari cerita diatas memang menunjukan perempuan sangat berharga di mata laki-laki, tapi banyak pula pergeseran yang terjadi tentang peran wanita di mata laki-laki jawa. Misal menjadi konco wingking alias teman dibelakang atau teman pemuas seks dan didapur, bawahan dan sebagainya. Hal inilah yang perlu disadari dan dirubah mindset tentang pikiran-pikiran yang tidak sesuai dalam adat istiadat jawa mengenai peran perempuan. Kalau dalam sejarah jawa terlebih sejarah majapahit, majapahit pernah dipimpin seorang ratu bernama Tribuwana Tunggadewi, dia adalah istri dari Raden Wijaya atau raja Majapahit pertama. Beberapa sejarah juga membuktikan peran perempuan lebih besar kuasanya daripada laki-laki, apalagi dalam adat Jawa. Beberapa kerajaan di masa lalu dipimpin oleh perempuan dan kebanyakan pula perempuan menjadi penasehat bagi suaminya, terlebih jaman kerajaan dahulu kala yang menjadikan permaisuri menjadi penasehat bagi Suaminya yang menjadi raja atau prabu dan sebagainya.
Jadi perempuan sangat berarti karena ada pepatah surga ada di telapak kaki ibu dan apalagi dalam beberapa golongan orang jawa mengartikan perempuan ialah bondone bojone atau artinya miliknya suaminya yang berarti pula perempuan menjadi nilai-nilai dan harga diri bagi suami dan keluarganya. Bahkan dibela sampai patining urip (sampai matinya hidup).
Bagi saya sebagai laki-laki dari kaum Jawa, saya dibesarkan untuk menghargai perempuan. Karena bila saya berlaku jahat kepada mereka berarti sama saja saya melecehkan martabat ibu saya. Karena itu kebanyakan keluarga besar di Jawa masih menggunakan paham kalau kita menghina perempuan dan melecehkan dia sama saja kita menghina ibu yang telah melahirkan kita dan ada pepatah mending mati saja daripada mengganggu perempuan. Tapi kebanyakan pula perempuan diperlakukan sebagai golongan nomor dua, golongan pembantu,dan golongan yang hanya doyan omong. Tapi sekali lagi cermin masa lalu jarang terpakai dalam perkembangan jaman sekarang. Memang sekarang perempuan tetap diakui persamaannya, tapi realitanya dalam keluarga jawa sendiri masih terdapat pemukulan terhadap perempuan. Laki-laki jawa sudah mulai luntur rasa menghargai perempuannya sebagai emas yang harus dijaga dengan taruhan nyawa. Kaum Jawa yang terkenal karena kelemah lembutannya sekarang luntur dengan terjadinya kasus-kasus lelaki Jawa yang menyiksa istri dan anak-anaknya. Sebaiknya jangan pernah lupakan budaya dan sejarah yang telah membentuk label karakter orang Jawa. Mari dijaga, jangan malu karena kita Jawa, hargai perempuan kita cintai mereka dan jadikan mereka sebagai nyawa yang harus dijaga dan dibelo pati kalau perlu.
Komentar