Langsung ke konten utama

Interaksionisme Simbolik, Grounded Theory, dan Cross Cultural Studies

Interaksionisme Simbolik, Grounded Theory, & Cross Cultural Studies

Karya: Suwardi Endraswara

Metodologi Riset Budaya-UGM Press

A. Interaksionisme Simboli

1. Premis Dasar

Interaksionisme simbolik adalah salah satu model penelitian budaya yang berusaha mengungkap realitas perilaku manusia. Falsa­fah dasar interaksionisme simbolik adalah fenomenologi.Namun, dibanding penelitian naturalistik dan etnografi yang juga memanfa­atkan fenomenologi, interaksionisme simbolik memiliki paradigma penelitian tersendiri. Model penelitian ini pun mulai bergeser dari awalnya, jika semula lebih mendasarkan pada interaksi kultural antar personal, sekarang telah berhubungan dengan aspek masyarakat dan atau kelompok. Karena itu bukan mustahil kalau awalnya lebih banyak dimanfaatkan oleh penelitian sosial, namun selanjutnya juga diminati oleh peneliti budaya.

Perspektif interaksi simbolik berusaha memahami budaya lewat perilaku manusia yang terpantul dalam komunikasi. Interaksi simbolik lebih menekankan pada makna interaksi budaya sebuah komunitas. Makna esensial akan tercermin melalui komunikasi budaya antar warga setempat. Pada saat berkomunikasi jelas banyak menampilkan simbol yang bermakna, karenanya tugas peneliti menemukan makna tersebut.

Menurut Blomer (Spradley, 1997:7) ada beberapa premis inte­raksionisme simbolik yang perlu dipahami peneliti budaya, yaitu sebagai berikut:

Pertama, manusia melakukan berbagai hal atas dasar makna yang diberikan oleh berbagai hal itu kepada mereka. Misalkan, para polisi, mobil polisi, penjual minum, tipe orang, dan sebagainya dalam suatu kerumunan memiliki simbol yang bermakna khusus.

Kedua, dasar interaksionisme simbolik adalah “makna berbagai hal itu berasal dari, atau muncul dari interaksi sosial seorang dengan orang lain. Kebudayaan sebagai suatu sistem makna yang dimiliki bersama, dipelajari, diperbaiki, dipertahankan, dan didefmisikan dalam konteks orang yang berinteraksi.

Ketiga, dari interaksionisme simbolik bahwa makna ditangani atau dimodifikasi melalui suatu proses penafsiran yang digunakan oleh orang dalam kaitannya dengan berbagai hal yang dia hadapi. Seorang polisi juga menggunakan kebudayaan untuk menginterpre­tasikan situasi.

Di samping tiga premis tersebut, Muhadjir (2000:184-185) menambahkan lagi tujuh proposisi. Tujuh proposisi tersebut terkait dengan para tokoh-tokoh penemu pendahulunya, yakni: pertama, perilaku manusia itu mempunyai makna di balik yang menggejala. Kedua pemaknaan kemanusiaan perlu dicari sumbernya ke dalam interaksi sosial. Ketiga, komunitas manusia itu merupakan proses yang berkembang holistik, tak terpisah, tidak linier, dan tidak terduga. Keempat, pemaknaan berlaku menurut penafsiran fenomenologi, yaitu sejalan dengan tujuan, maksud, dan bukan berdasarkan mekanik. Kelima, konsep mental manusia berkembang secara dialektik. Ke­enam, perilaku manusia itu wajar, konstruktif, dan kreatif, bukan elementer-reaktif: Ketujuh, perlu menggunakan metode introspeksi simpatetik, menekankan pendekatan intuitif untuk menangkap makna.

Melalui premis dan proposisi dasar di atas, muncul tujuh prinsip interaksionisme simbolik, yaitu: (1) simbol dan interaksi menyatu. Karena itu, tidak cukup seorang peneliti hanya merekam fakta, melainkan harus sampai pada konteks; (2) karena simbol juga bersifat personal, diperlukan pemahaman tentang jati diri pribadi subyek penelitian; (3) peneliti sekaligus mengkaitkan antara simbol pribadi dengan komunitas budaya yang mengitarinya; (4) perlu direkam situ­asi yang melukiskan simbol; (5) metode perlu merefleksikan bentuk perilaku dan prosesnya; (6) perlu menangkap makna di balik fenomena; (7) ketika memasuki lapangan, sekedar mengarahkan pemikiran subyek, akan lebih baik.

2. Proses Penelitian

Dalam pemaknaan interaksi simbolik, bisa melalui proses: (1) terjemah (translation) dengan cara mengalih bahasakan dari penduduk asli dan memindahkan rekaman ke tulisan; (2) penafsiran, perlu dicari latar belakangnya, konteksnya, agar terangkum konsep yang jelas; (3) ekstrapolasi, lebih menekankan kemampuan daya pikir manusia untuk mengungkap di balik yang tersaji; (4) pemaknaan, menuntut kemam­puan integratif manusia, inderawinya, daya pikirnya, dan akal budi.

Pemaknaan sebaiknya memang tidak mengandalkan pandangan “subjektif murni” dari pemilik budaya, melainkan menggunakan wawasan “intersubjektif’. Artinya, peneliti berusaha merekonstruksi realitas budaya yang terjadi melalui interaksi antar anggota komunitas. Pada saat interaksi itu terjadi, peneliti bisa melakukan umpan balik berupa pertanyaan-pertanyaan yang saling menunjang. Pancingan­-pancingan pertanyaan peneliti yang menggelitik, akan memunculkan makna dalam sebuah interaksi antar pelaku budaya.

Penafsiran bukanlah tindakan bebas, melainkan perlu bantuan yang lain, yaitu sebuah interaksi. Melalui interaksi seseorang dengan orang lain, akan terbentuk pengertian yang utuh. Penafsiran semacam ini menurut Moleong (2001:11) lebih esensial dalam interaksi simbolik. Oleh karena interaksi menjadi paradigma konseptual yang melebihi “dorongan dari dalam”, “sifat-sifat pribadi”, “motivasi yang tidak disadari”, “kebetulan”, “status sosial ekonomi”, “kewajiban ­peranan”, atau lingkungan fisiknya. Konsep teoritik mungkin berman­faat, namun hanya relevan sepanjang memasuki proses pendefinisian.

Implikasi interaksi simbolik menurut Denzin (Mulyana, 2002:149) perlu memperhatikan tujuh hal, yaitu: (1) simbol dan interaksi harus dipadukan sebelum penelitian tuntas, (2) peneliti harus memandang dunia atas dasar sudut pandang subjek, (3) peneliti harus mengaitkan simbol dan subjek dalam sebuah interaksi, (4) setting dan pengamatan harus dicatat, (5) metode harus mencernunkan proses perubahan, (6) pelaksanaan harus berbentuk interaksi simbolik, (7) penggunaan konsep awalnya untuk mengarahkan kemudian ke operasional, proposisi yang dibangun interaksional dan universal.

Atas dasar berbagai rujukan interaksionis simbolik, peneliti budaya memang harus cermat dalam memperhatikan interaksi manusia dalam komunitas budaya. Interaksi manusia tersebut, umum­nya ada yang berencana, tertata, resmi, dan juga tidak resmi. Berbagai momen interaksi dalam bentuk apa pun, perlu diperhatikan oleh peneliti budaya. Pelaku budaya tidak dapat dianggap sebagai komu­nitas yang pasif, melainkan penuh interaksi dinamis yang banyak menawarkan simbol-simbol. Pada saat ini peneliti segera memasuki interaksi budaya pelaku.

Dalam setiap gerak, pelaku budaya akan berinteraksi dengan yang lain. Pada saat itu, mereka secara langsung maupun tidak lang­sung telah membeberkan stock of culture yang luar biasa banyaknya.

Persediaan pengetahuan budaya yang ditampilkan lewat interaksi itulah yang menjadi fokus penelitian jnodel interaksionis simbolik. Dari interaksi tersebut, akan muncul sejumlah tanda-tanda, baik verbal maupun non verbal yang unik.

Oleh karena kemajuan zaman semakin pesat, peneliti juga perlu memperhatikan ketika pelaku budaya berinteraksi melalui alat-alat canggih. Mungkin sekali mereka berinteraksi menggunakan HandPhone (HP), internet, faximile, surat dan lain-lain. Seluruh aktivitas budaya semacam itu tidak lain merupakan incaran peneliti interaksi­onis simbolik. Yang perlu diingat oleh peneliti budaya adalah, bahwa pelaku itu sendiri adalah aktor yang tidak kalah cerdiknya dengan pemain drama. Karena itu dari waktu ke waktu interaksi mereka perlu dicermati secara mendalam. Jangan sampai ada interaksi semu yang sengaja menjebak peneliti.

Menurut pandangan model interaksionis simbolik perilaku budaya akan berusaha menegakkan aturan-aturan, hukum, dan norma yang berlaku bagi komunitasnya. Jadi, bukan sebalilrnya interaksi mereka dibingkai oleh aturan-aturan mati, melainkan melalui interaksi simbolik akan muncul aturan-aturan yang disepakati secara kolektif. Makna budaya akan tergantung proses interaksi pelaku. Makna biasanya muncul dalam satuan interaksi yang kompleks, dan kadang­kadang juga dalam interaksi kecil antar individu.

Dengan’demikian, model interaksionis simbolik akan menga­nalisis berbagai hal tentang simbol yang terdapat dalam interaksi pelaku. Mungkin sekali pelaku budaya menggunakan simbol-simbol ,

unik atau spesial yang hanya dapat dipahami ketika mereka saling ber­interaksi. Katakan saja, kemenyan dan bunga kantil, keduanya kalau berdiri sendiri belum mewujudkan sebuah simbol bermakna. Namun, ketika benda tersebut diletakkan pada salah satu prosesi budaya, diberi mantra oleh seorang dukun dan sebagainya, barulah benda simbolik ‘ itu bermakna.

Itulah sebabnya ada beberapa catatan penting yang perlu diperhatikan bagi peneliti interaksionis simbolik, yaitu: (1) simbol akan bermakna penuh ketika berada dalam konteks interaksi aktif, (2) pelaku budaya akan mampu merubah simbol dalam interaksi sehingga menimbulkan makna yang berbeda dengan makna yang lazim, (3) pemanfaatan simbol dalam interaksi budaya kadang-kadang lentur dan tergantung permainan bahasa si pelaku, (4) makna simbol dalam interaksi dapat bergeser dari tempat dan waktu tertentu.

Atas dasar hal-hal tersebut di atas, berarti interaksionis simbolik merupakan model penelitian yang lebih cocok diterapkan untuk mengungkap makna prosesi budaya sebuah komunitas. Dari prosesi itu akan terungkap makna di balik interaksi budaya antar pelaku. Tentu saja, yang diharapkan adalah pengungkapan proses budaya secara natural, bukan situasi buatan.

Memang harus disadari bahwa interaksionis simbolik tetap memiliki berbagai kelemahan dasar. Antara lain, seringkali model penelitian ini kurang memperhatikan masalah emosi dan gerak bawah sadar manusia dalam interaksi. Interaksionisme simbolik lebih mema­hami hal-hal yang.kpnkret dalam interaksi baru ditafsirkan, padahal di balik jiwa manusia terdapat gelombang besar yang kadang-kadang tidak tampak. Namun demikian, interaksionis simbolik tetap memiliki kekuatan empiris yang patut dipuji. Di samping itu, melalui pemakna­an simbol berdasarkan interaksi, berarti penafsiran selalu berada pada konteksnya.

B. GROUNDED THEORY

1. Dasar Pemikiran dan Pengumpulan Data

Grounded theory termasuk ragam atau model penelitian yang ingin mencari rumusan teori budaya berdasarkan data empirik. Dasar pemikiran model ini adalah simpulan secara induktif. Yang paling penting dalam grounded theory adalah lahirnya sebuah teori. Dalam kaitannya dengan budaya, tentu akan merumuskan teori-teori baru tentang budaya atas dasar data real. Teori tersebut akan lebih mengakar pada budaya yang bersangkutan, karena lahir dari mereka, dan kelak bisa dimanfaatkan ulang untuk mereka pula.

Grounded theory adalah ragam penelitian dasar yang berusaha: (a) mengembangkan kategori-kategori yang menjelaskan data, (b) “menjenuhkan” kategori dengan banyak kasus yang menunjukkan relevansinya, dan (c) mengembangkan kategori-kategori ke dalam kerangka analitik yang lebih umum. Jadi, grounded theory merupakan;.Z pengembangan etnografi yang tidak jauh berbeda dengan penelitian budaya kognitif.

Itulah sebabnya, grounded theory justru memungkinkan lahirnya sebuah teori yang handal. Kehadiran teori baru berarti akan mengurangi pemiskinan teori budaya yang selama ini diagung­agungkan oleh pengikutnya. Melalui grounded theory, berarti budaya dibiarkan berkembang sejalan dengan zamannya.

Perkembangan justru akan menantang lahirnya teori baru. Dengan kata lain, peneli­tian budaya melalui grounded theory bukan mengejar pembuktian teori yang telah ada, melainkan menghimpun data untuk diciptakan teori.

Jika ada hipotesis, bukan seperti hipotesis positivisme rasionalistik yang menghendaki pembuktian, melainkan lebih mengem­bangkan hipotesis. Malma boleh berubah dan berkembang berdasarkan data di lapangan. Dengan demikian akan ditemukan teori yang hakiki, sejalan dengan perkembangan budaya, dan sesuai dengan kondisi setempat. Temuan teori yang berdasar data, dan bukan dari simpulan deduktif-logik, berarti ilmu akan semakin berkembang dan progresif.

Sampel pada penelitian grounded (Muhadjir, 200:125) berbeda dengan sampel positivistik-statistik. Jika positivistik ingin menguji atau verivikasi teori, sehingga sampel dipilih berdasarkan struktur populasi, grounded tidak demikian. Grounded justru bertujuan untuk menemukan dan atau tepatnya mengembangkan rumusan teori atau mengembangkan konseptualisiasi teoritik berdasarkan data-data. Karena itu, pemilihan sampel pada grounded ke arah pada kelompok atau subkelompok yang akan memperkaya penemuan ciri-ciri utama.

Data yang digunakan, memang tidak terbatas pada wawancara dan pengamatan, melainkan bisa menggunakan bahan dokumen atau referensi yang relevan. Hal ini dilakukan agar ada efesiensi kerja penelitian. Dari data tersebut akan menghasilkan sebuah teori subs­tantif dan bukan teori formal. Dalam kaitannya dengan budaya, grounded akan menemukan teori substansi budaya tertentu. Teori substansi adalah teori yang dibangun dari data berdasarkan wilayah substansi penelitian. Sedangkan teori formal jangkauannya boleh dikatakan lebih luas meliputi sekian subtansi penelitian. Kendati demikian, grounded bukan tidak mungkin menghasilkan teori formal, namun proses menuju ke situ cukup pelan-pelan dan cermat. Yakni, manakala teori budaya tadi telah sahih berlaku pada salah satu substansi, kelak akan dikembangkan pada substansi yang lebih luas atau substansi lain, sampai menghasilkan teori formal.

Penelitian grounded terhadap budaya, tidak jauh berbeda dengan penelitian kualitatif yang lain. Data dapat diperoleh dengan berbagai cara dan berbentuk apa pun, seperti dokumen, hasil wawan­cara, pengamatan, otobiografi, videotip, dan sebagainya. Yang paling harus ditekankan, grounded memang model penelitian untuk pengembangan teori. Teori budaya yang selama ini berkisar pada analisis itu-itu saja, kemungkinan besar bisa dikembangkan melalui~ model ini. Bangunan teori budaya akan semakin handal apabila; didukung oleh data empiris.

Teori dalam pandangan grounded adalah rangkaian konsep’ yang jelas. Konsep budaya seharusnya ditemukan pada realita. Konsep ` tersebut dilukiskan secara deskriptif argumentatif. Konsep dibangun dan dikembangkan lebih analitis, hubungan konsep jelas, dan meyakinkan. Namun, teori yang dihasilkan pun juga tidak kekal, tetapi masih boleh diperdebatkan. Untuk itu, peneliti grounded dituntut kecermatan luar biasa.

2. Analisis Data

Basis grounded theory adalah analisis kualitatif data lapangan. Grounded theory merupakan usaha penggalian yang mendalam dengan menganalisis data secara sistematis dan intensif (sering kali­mat demi kalimat) terhadap catatan lapangan, hasil wawancara, atau dokumen. Dengan perbandingan yang konstan, data yang terkumpul, diberi kode, lalu dianalisis sehingga menghasilkan teori yang baik.

Peneliti tidak perlu terburu-buru membatasi perhatiannya pada masalah kategori. Mungkin setelah beberapa bulan di lapangan baru menemukan sejumlah kategori yang tepat. Dalam proses pengkatego­rian, kemungkinan besar lalu muncul kategori baru. Pada pertengahan penelitian, baru dilakukan pemilihan memo dan kode. Kemudian memo-memo yang terpilih diperluas, diringkas, dan difokuskan untuk menutup kesenjangnan teori yang telah muncul.

Menurut Glaser dan Strauss (Mulyana, 2002:174) ada tiga tahap yang perlu dilalui peneliti grounded, yaitu: (a) awalnya adalah me­ngembangkan kategori-kategori untuk menjelaskan data, (b) berusaha menjenuhkan kategori tersebut dengan banyak kasus yang relevan, dan (c) mengembangkan kategori ke dalam kerangka analitik yang lebih umum dengan relevansi di luar lingkungan yang bersangkutan.

Jika data kualitatif telah terkumpul seluruhnya, peneliti perlu mencurahkan perhatiannya pada pengkodean. Pengkodean merupakan proses progresif pemilihan dan pendeginisian bagian-bagian data yang terkumpul yang sejalan dengan tujuan penelitian. Analisis data dilakukan pada setiap kode (kategori). Dalam hal ini, membutuhkan kreativitas, kekekunan, ketegaran, dan sesitivitas teoritis.

Analisis harus menghasilkan sebuah konsep budaya tertentu secara jelas. Analisis ada tiga macam pengkodean, yaitu:

(a) pengkodean terbuka. Pengkodean ini merupakan analisis yang

secara khusus mengenai penamaan dan pengkategorian fenomena melalui pengkajian secara teliti terhadap data. Data dikelompok­kan ke dalam bagian-bagian terpisah, diselidiki secara cermat, dibandingkan persamaan dan perbedaannya, dan diajukan perta­nyaan tentang fenomena yang tercermin dalam data;

(b) pengkodean berporos (aksial). Pengkodean ini berupa analisis mendalam salah satu kategori. Hal ini menghasilkan pengetahuan komulatif yang amat penting. Pengkodean berporos ini dilakukan bukan pada bulan awal, melainkan setelah berproses panjang. Sus-sub kategori dihubungan untuk melihat fenomena budaya sebagai kausal, fenomena, konteks, kondisi yang mengintervensi, strategi tindakan, dan konsekuensi. Proses ini meliputi langkah­-langkah: menghubungkan subkategori, memverifikasi hipotesis menggunakan data yang sebenarnya, melanjutkan mencari sifat­-sifat kategori, dan mulai mengeksplorasi fenomena.

(c) pengkodean selektif. Pada saat ini peneliti mulai menentukan teori grounded (teori membumi). Pada saat ini peneliti telah memperoleh kategori yang mantap dalam kejelasan sifat, dimen­si, dan hubungan paradigmatik antar katgeori. Selanjutnya tinggal membuat konsepsi melalui kategori tersebut. Langkah yang perlu ditempuh, antara lain: pertama, menyajikan konseptualisasi ceri­ta; kedua, menghubungkan kategori-kategori pendukung dengan, kategori inti menggunakan paradigma; ketiga, menghubungkan kategori berdasarkan dimensinya; keempat, memvalidasi kategori tersebut menggunakan data; kelima, melengkapi kategori ayng memerlukan perbaikan dan atau pengembangan.

Analisis data grounded ke arah kesimpulan induksi analitik. Induksi analitik akan memungkin seorang peneliti mencocokkan antara data dengan fenomena budaya.

Adapun langkah-langkah yang harus ditempuh adalah sebagai berikut: (1) membuat batasan secara kasar tentang fenomena, yang dijelaskan; (2) memformulasikan hipotesis untuk menjelaskan fenomena budaya tersebut berdasarkan data, penelitian lain, dan instuisi peneliti); (3) melihat satu kasus untuk mencocokkan kasus dengan hipotesis; (4) jika hipotesis tidak mampu menjelaskan kasus, sebaiknya formulasikan kembali hipotesis atau

definisikan kembali fenomena; (5) mencari secara aktif kasus-kasus negatif untuk menunjuk bahwa hipotesis tidak terbukti; (6) jika kasus negatif ditemukan, formulasikan kembali hipotesis atau definisikan kembali fenomena; (7) lanjutkan sampi hipotesis dapat dibuktikan secara meyakinkan dengan menyelidiki sejumlah kasus yang berbeda (Bogdan dan Taylor, 1984:128)

Jadi hasil analisis grounded terhadap fenomena budaya bukan semata-mata pada keakuratan deskripsi, melainkan pada pengkonsepan. Tidak seperti pada peneltiian Geertz (1989) yang memiliki kekuatan deskripsi mendalam, grounded justru harus ke arah penyusunan kon­sep budaya. Dalam kaitan ini kepekaan dan sikap profesional peneliti amat menentukan pembentukan konsep atau teori budaya. Sikap semacam ini tidak tentu harus dilakukan oleh peneliti berkaliber doktor atau pun profesor. Maksudnya, siapa saja bisa melakukan grounded theory asalkan melalui prosedur yang jelas.

C. CROSS-CULTURAL STUDIES

Cross-cultural studies sesungguhnya telah berusia panjang. Namun, aplikasinya sering terputus-putus, tergantung “pemuka” bidang kajian budaya. Jika “pemuka” (pembimbing skripsi, tesis, dan deser­tasi) memiliki mood ke arah itu, studi ini berkembang pesat. Sebalik­nya, jika “pemuka” mulai lemah dan ingin menghilangkan kejenuhan, berganti model lain, tentu studi perbandingan budaya semakin minim frekuensinya.

Model tersebut adalah sebuah pilihan pemaknaan budaya. Target yang ingin dicapai, kadang-kadang memang di luar bahasa teks budaya. Kadang-kadang lepas pula dari budaya sebagai wacana atau teks. Hal ini harus diakui (untuk sementara) karena model kajian budaya ini lebih menitik beratkan pada komparatif dan pemahaman antar budaya. Jika dipandang dari aspek ontologis, cultural-studies adalah upaya merefleksikan masalah-masalah yang muncul pada era transisi antara gejala modernisme dan postmodernisme (Panuju, 2002:59).

Pemekaran cross-cultural studies, rupa-rupanya dipicu oleh kejenuhan melihat budaya sebagai teks. Budaya sebagai teks yang sering mendewasakan bahasa simbol dan terutama studi isi (analisis isi), sering mejenuhkan. Di samping itu, analisis konten juga sering menaifkan sebuah gejala. Karena itu, kehadiran cross-cultural studies menjadi sebuah tawaran. Hanya saja, apa yang terjadi di dunia barat memang berbeda dengan di timur (Indonesia).

Di barat, mungkin banyak hal yang berupa fenomena budaya yang benar-benar nampak, sedangkan di timur fenomena justru sering simbolik. Bayangkan saja, ketika kultur Jawa memanfaatkan berbagai ungkapan, ketika dia nampak sedih padahal sebenarnya senang, ketika nampak tak bersalah padahal sebenarnya berdosa, dan seterusnya. Itulah sebabnya penerapkan cross-cultural studies di barat dan di timur memang harus bebrbeda. Perbedaan konteks fenomena budaya amat menentukan aplikasi model penelitian semacam ini.

Model kajian cross-cultural studies sebenarnya merupakan sebuah model perbandingan antar budaya. Tak jauh berbeda dengan bidang humaniora yang lain, juga mengenal sebuah bandingan, seperti sastra perbandingan, bahasa bandingan, dan sebagainya - semua bertujuan untuk mencari korelasi. Asumsi dasar dari perbandingan budaya, tak lain adanya persinggungan antar budaya. Pergesekan antar budaya, proses inkulturasi, akulturasi, asimilasi, dan sebagainya akan mengubah budaya asli. Itulah sebabnya, studi ini menjadi menarik ketika seorang peneliti dengan jeli mencoba mencari unsur-unsur kemiripan budaya pada masing-masing lokal atau wilayah.

Terjadi transformasi budaya sebagai akibat gejala mondial dan pluralisme, memang sangat memungkinkan terjadinya hubungan antar budaya. Pentingnya kajian semacam ini, tak lain untuk mencari induk dan orisinalitas budaya. Pada awalnya, cross-cultural studies. yang dipelopori E.B. Tylor memang untuk menguji korelasi antar unsur­-unsur budaya, yang kemudian untuk memantapkan generalisasi (Koentjaraningrat, 1990:16).

Tentu saja, cita-cita semacam ini telah bergeser dari waktu ke waktu, yakni pada gilirannya tak semata-mata mencari generalisasi, melainkan untuk mengetahui proses evolusi dan difusi budaya.

Kajian semacam itu biasanya membutuhkan sampel yang cukup besar. Tak hanya dalam satu wilayah, tetapi juga dapat meliputi skup di luar wilayah budaya yang bnersangkutan. Upaya demikian pernah dilakukan oleh Murdock yang mencoba mencari korelasi budaya hubungan kekerabatan patrilineal dan matrilineal. la mencari seberapa jauh korelasi antar variabel, seperti mata pencaharian, kemampuan membuat tembikar, menenun, keahlian sebagai tukang, dan stratifikasi sosial. Selanjutnya, dia mengkaji masalah “rasa tak sehat”, bahwa dalam kebudayaan di dunia ternyata “rasa tak sehat” berbeda dengan “rasa sakit”.

Gebragan Murdock tersebut, ternyata telah melahirkan sebuah lembaga di Yale Universty dengan sebutan HRAF (Human Realations Area Files). Lembaga ini berupaya menyempurnakan metodologi, serta penyebaran hasil-hasilnya. Dari hasil-hasil berupa etnografi lengkap, mereka telah memproklamasikan adanya culture area.

Yakni, sebuah golongan budaya berdasarkan wilayah geografisnya. Misalkan saja, melalui tokoh Wissler sempat membagi kebudayaan suku bangsa Indian menjadi sembilan culture area. Gagasan serupa tampaknya juga telah mempengaruhi peneliti budaya di Indonesia, sehingga ada etnografi Batak, etnografi Bugis, etnografi Jawa, etnografi Sunda, dan sebagainya-sebagaimana tercantum dalam buku Koentjaraningrat Manusia dan Kebudayaan Indonesia.

Dampak dari ide kajian di atas, Koentjaraningrat pun ketika membuat buku Kebudayaan Jawa juga diwarnai oleh tujuh unsur kebudayaarl dunia yang dianggap universal. Ide semacam ini, ternyata telah memberangus peneliti budaya Indonesia, sehingga selalu membuat kategori etnografi sebatas tujuh unsur tersebut. Akibatnya, di Jawa saja ada sekat-sekat (era budaya) Jawa Solo dan Yogyakarta yang dianggap adiluhung, sementara di luar itu (baca: pesisiran) dianggap tak adiluhung.

Lepas dari beberapa kelemahan cross-cultural studies, kiranya telah membuka wacana peneliti budaya, manakala ingin mengungkap aspek-aspek kesamaan dan perbedaan antar budaya. Adopsi teori barat ini, tampaknya di Indonesia juga ada yang mengembangkan. Paling tidak, melalui studi komparatif akan dapat direkonstruksi kemiripan budaya, proses evolusi, serta transformasi budaya di era sekarang. Rekonstruksi akan menggambarkan aspek historis dan homogenitas. Pilar yang dikejar adalah mencari kesamaan-kesamaan budaya pada masing-masing daerah.

Ciri pokok cross-cultural studies adalah pemakaian paham positivistik. Di dalamnya harus ada peninjauan unsur-unsur budaya dari sekian banyak kebudayaan pada suatu wilayah. Usaha perban­dingan tersebut, tak lain sebagai arah mencari perampatan (generali­siasi) dari suatu ciri, pengertian, keteraturan struktural yang diperoleh - secara induktif dari penelitian kebudayaan tertentu.

Berbagai hal yang dapat diperbandingan dalam cross-cultural antara lain: (1) persepsi, yaitu bagaimana tanggapan pelaku budaya satu dengan yang lain ketika menerima dan atau menolak budaya yang hadir, (2) kognisi, yaitu membandingkan pola pemikiran pendukung budaya masing-masing, (3) kepribadian dan jati diri, yaitu memban­dingkan kepribadian dan jatidi pemilik budaya masing-masing. Tipe­tipe karakter dan etos kerja masing-masing boleh diperbandingkan. Dari berbagai hal yang dibandingkan ini, peneliti akan mencari korelasi atau hubungan kemiripan. Hubungan tersebut akan memben­tuk varian-varian budaya satu sama lain, sehingga dapat ditentukan mana budaya transformasi dan mana budaya yang asli.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Aku Rindu

Melihat tepian hidupku serasa ngeri dan serasa hilang pijakan hati ini iris menangis melihat bahwa khawatir menjadi penyakit pada masaku merasa tua adalah menyakitkan semangat muda terasa luntur luntur bak cat tanpa minyak luntur bagai lukisan terkena air oh apa dayaku, serasa debu serasa air serasa angin aku rindu masa mudaku aku rindu masa mudaku tanpa rasa takut & penuh asa Aku rindu....

perkataanmu adalah mautmu

Beberapa kali saya selalu diajari oleh orang terdekat saya untuk menjaga perkataan saya, termasuk dari Iman Keyakinan saya untuk selalu menjaga apa yang akan keluar dari perkataan saya. Saya sadar bahwa saya manusia yang sering mengeluarkan kata-kata bernada kemarahan, namun kemarahan dan perkataan saya selalu saya benar-benar jaga jangan sampai mengeluarkan nada yang merusak/ bersifat kutukan. Karena itu saya memiliki budaya baru untuk selalu mengigit bibir saya agar saya dapat menahan apa yang mau keluar dari perkataan saya. Dari hal diatas saya juga memaklumi jika ada orang yang sudah tidak tahan akan kemarahannya akan meledakan isi hatinya melalui perkataan-perkataan yang pedas, kebun binatang dan sebagainya, namun saya juga melihat ada orang yang mengeluarkan sumpah serapah dengan beralasan apa yang dirasanya paling benar tanpa memperhatikan dari sisi yang diberikah sampah perkataannya tersebut. apa yang terjadi?? jawaban saya beraneka beragam namun mengarah dan men

Syahdunya Siang Ini

Bukan bermaksud melankolis, namun sembari kepala migrain sekalian saja dikasih minum kopi pahit. Siang ini terasa ingin pulang dari kantor, bukan bermaksud tidak semangat, namun ingin melakukan sesuatu yang beda dan menambah pengetahuan. Untuk itu ada tawaran dari seorang teman yang menjual buku dengan harga cukup murah tapi isinya sangat menambah wawasan. Yah, saya sadar bahwa saya butuh pengalaman baru & wawasan baru. Jadi perlu diingat, kebosanan bukan tanda kita malas , tapi salah satunya tanda kita perlu menghargai diri kita dengan sesuatu hal yang baru. Sediakanlah waktu dan "cemilan" baru buat otak & diri kita, misal belilah buku baru bila kita doyan membaca, atau belilah gadget/ alat pertukangan agar kita belajar hal-hal baru. ikutlah event-event baru misal lari 5K s/d 10 atau 21 K, fitnes, ngeGym dsb. Dunia ini tidak akan runtuh dengan membeli kebutuhan-kebutuhan itu, asal kebutuhan kita tidak menganggu kebutuhan pokok dari hidup kita. So jad